
Edwin Agung Wibowo
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Riau Kepulauan
(Dimuat Dalam Harian Haluan Kepri, Edisi 05 November 2011)
Kekuasaan dan pengaruh perusahaan raksasa atau korporasi di dalam kehidupan masyarakat yang semakin kokoh di era globalisasi merupakan fakta yang tidak terbantahkan. Dengan kekuatan itu, dampak positif maupun negatifnya pun sangat besar. Tidak ada yang menyangkal bahwa korporasi telah memberikan sumbangan bagi kemajuan ekonomi, peningkatan sumberdaya manusia dan sebagainya. Namun, dampak negatif aktivitasnya juga berskala yang sama. Kerusakan lingkungan, proses pemiskinan dan marginalisasi kelompok masyarakat rentan, kian lebarnya kesenjangan ekonomi serta pengaruhnya terhadap proses politik yang tidak demokratis di berbagai jenjang pemerintahan hanyalah sebagian dari dampak negatif itu. Kritik serta usulan solusi telah diajukan untuk menangani dampak negatif tersebut. Corporate Social Responsibility (CSR) adalah sebagian langkah solusi yang sudah dipraktikkan secara global pada 20 tahun terakhir ini, dengan berbagai tingkatan kinerja. CSR merupakan konsep yang luwes dan terus berkembang karena merupakan tuntutan normatif dari seluruh pemangku kepentingan. Kalangan bisnis telah menyuarakan penolakan dimasukkannya pasal tentang tanggung jawab social perusahaan dalam undang-undang Perseroan Terbatas yang baru.
Kritik yang muncul, tanggung jawab social perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR) adalah konsep dimana perusahaan sesuai kemampuannya, melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perbaikan lingkungan. Kegiatan itu ada di luar kewajiban perusahaan yang umum dan sudah ditetapkan dalam hukum formal, seperti ketertiban usaha, pajak atas keuntungan, dan standar lingkungan. Kalangan bisnis meramalkan jika CSR diwajibkan, para investor akan semakin enggan melakukan bisnis di Indonesia.
CSR bisa diatur?
Seberapa jauh CSR dapat diatur atau tidak? Sebenarnya tidak ada jawaban hitam-putih tentang hal ini. Sejarah CSR sendiri menunjukkan hal ini. Beberapa peraturan yang diberlakukan di negara lain, seperti standar lingkungan dan hubungan perburuhan, sebagian merupakan gagasan yang semula dijalankan sebagai CSR. Dengan aneka pertimbangan objektif dan desakan lain, kemudian gagasan diregulasi.
Dari sudut pandang positif, dimana menurut sudut pandang ini, adalah wajar jika akibat perbuatan baik yang dilakukannya, revenue perusahaan bertambah. Logika dibalik sudut pandang ini adalah bahwa perusahaan yang ingin berbuat baik dan mendeklarasikannya secara terbuka, akan menjadi sorotan publik. Sorotan itu akan membuat perusahaan menjadi lebih berhati-hati dalam bertindak. Kebiasaan baik tersebut akan meningkatkan kinerja perusahaan dan pada akhirnya meningkatkan keuntungan perusahaan.
“Companies that are publicly proclaim their desire to be a positive force in community will also be more likely to face continued public scrutiny and this will in turn provide a further incentive to avoid wrongdoing (Stoll 2002)”.
Terbuka dan Akuntable
Pengaturan elemennya secara prinsip, mungkin. Namun, prosesnya harus memenuhi pembuatan peraturan yang terbuka dan akuntabel. Pertama, harus jelas apa yang diatur. Lalu, harus dipertimbangkan semua kenyataan di lapangan, termasuk orientasi dan kapasitas birokrasi dan aparat penegak hukum serta badan-badan yang melakukan penetapan dan penilaian standar. Yang juga harus diperhitungkan adalah kondisi politik, termasuk kepercayaan pada pemerintah dan perilaku para aktor politik dalam meletakkan masalah kesejahteraan umum. Ini artinya harus melalui dialog bersama para pemangku kepentingan, seperti pelaku usaha, kelompok masyarakat yang akan terkena dampak, dan organisasi pelaksana.
Persoalan kedua, seberapa jauh CSR berdampak positif bagi masyarakat, amat tergantung dari orientasi dan kapasitas lembaga dan organisasi lain, terutama pemerintah. Studi Bank Dunia (Howard Fox, 2002) menunjukkan, peran pemerintah yang terkait dengan CSR meliputi pengembangan kebijakan yang menyehatkan pasar, keikutsertaan sumber daya, dukungan politik bagi pelaku CSR, menciptakan insentif dan peningkatan kemampuan organisasi. Untuk Indonesia, bisa dibayangkan, pelaksanaan CSR membutuhkan dukungan pemerintah daerah, kepastian hokum, dan jaminan ketertiban social.
Pemerintah dapat mengambil peran penting tanpa harus melakukan regulasi di tengah situasi hukum dan politik saat ini. Di tengah persoalan kemiskinan dan keterbelakangan yang dialami Indonesia, pemerintah harus berperan sebagai koordinator penanganan krisis melalui CSR. Pemerintah dapat menetapkan bidang-bidang penanganan yang menjadi focus, dengan masukan pihak yang kompeten.
Setelah itu, pemerintah memfasilitasi, mendukung, dan memberi penghargaan pada kalangan bisnis yang mau terlibat dalam upaya besar ini. Pemerintah juga dapat mengawasi proses interaksi antara pelaku bisnis dan kelompok-kelompok lain agar terjadi proses interaksi yang lebih adil dan menghindarkan proses manipulasi atau pengancaman satu pihak terhadap yang lain.
Peran terakhir ini amat diperlukan, terutama di daerah. Semacam perubahan orientasi dan peningkatan kapasitas pemerintah daerah juga diperlukan.***